Jumat, 15 Juli 2011

Istri kedua

Sudah dua tahun ayah menikah lagi. Bahkan sekarang sudah punya keturunan dari pernikahan keduanya. Perempuan! Ayah memang punya banyak anak perempuan. Hanya satu orang anak laki-laki, adikku, anak dari istri pertama ayah yang tak lain adalah ibuku.
Dulu, ketika pertama kali kudengar kabar ayah menikah lagi, hatiku gemuruh. Aku meredam amarah. Bagaimana mungkin sosok ayah yang kukenal bijaksana dan berwibawa bisa megambil keputusan seperti itu? Apalagi yang kurang dari ibu? Di mataku, ibu adalah sosok istri yang penurut, tidak banyak menuntut, dan sangat pemurah. Ibu tidak pernah memperhitungkan berapa biaya yang sudah ibu keluarkan untuk menghidupi dan menyelenggarakan pernikahan adik-adik perempuan ayah.
Ayah punya banyak adik perempuan, dan punya satu orang adik laki-laki. Adik perempuan ayah ada tujuh orang. Lima diantaranya pernah tinggal di rumah ku. Kelima-lima adik perempuan ayah menikah di rumahku. Pesta pernikahannya digelar juga di rumahku. Dan hampir semua biaya perhelatan, ibu yang menanggung. Namun setelah itu tak satupun dari mereka yang datang saat hari raya, sekedar mengantarkan kue gadang[1] sebagai ucapan terima kasih. Bahkan saat kedua kakak perempuanku menikah, tak satupun dari mereka yang turun tangan. Padahal ketika itu ekonomi keluargaku sedang sulit. Ibuku sudah tidak berjualan lagi. Sedangkan dagangan ayah tidak begitu diminati pembeli. Tepatnya ketika sewa kios ayah sudah habis dan ayah tidak punya cukup uang untuk megontrak lagi, ayah terpaksa berjualan di balai dengan barang dagangan seadanya.
Dulu, ketika barang dagangan ayah masih laris, dua kali dalam sebulan ayah pergi ke Padang . Membeli barang dagangan dalam jumlah besar. Kemudian barang dagangan itu dibawa ke kampung. Di pasar kampung barang dagangan itu akan dibeli oleh pengecer. Oleh sebab itulah dulu ayahku dipanggil dengan sebutan Bos.
Sama seperti ayah, ibu juga seorang pedagang. Karena keramahannya, ibu punya banyak pelanggan. Jadilah barang dagangan ibu selalu laku terjual. Hasilnya ibu belikan cincin dan gelang emas. Bahkan dulu aku dan kakak-kakak perempuanku masing-masing memakai cincin emas. Namun tidak lama kemudian cincin-cincin itu harus dijual. Uang hasil penjualan cincin digunakan untuk biaya perhelatan adik perempuan ayahku yang nomor lima.
Sekarang, semenjak ayah menikah lagi, ibu kehilangan semangatnya berdagang. Tensinya naik. Sejak itulah sebenarnya ibu berubah pikiran. Ditambah lagi gonjang-ganjing para pedagang pasar yang menggunjingkan perihal pernikahan kedua ayah. Hati ibu jadi tertekan. Ayah memang tidak memberitahu kami sekeluarga ketika akan menikah lagi. Ibu baru mengetahuinya setelah salah seorang pelanggan ibu tiba-tiba menghampiri ibu di lapak tempat ibu berjualan tidak jauh dari kios. Dengan nada berapi-api ia berkata pada ibu, “ Uni, apo Uni indak tau kalau laki Uni babini ciek lai? aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Bini[2] mudanya itu seorang janda beranak tiga. Dia datang dari Bengkulu . Aku tahu persis. Dia itu tetanggaku. Dasar dia itu perempuan tidak tahu diri!” tandasnya.
Mendengar berita yang begitu mengejutkan, hati ibu terbakar. Lekas ibu temui ayah di kios. Ibu tumpahkan segala perasaannya yang teriris-iris. Sedikitpun tidak ayah bantah perkataan ibu.
“ Ayah mengambil keputusan menikah lagi, karena ayah sayang kepada ibu. Juga kepada anak-anak. Ayah tahu, akan sulit bagi ibu dan anak-anak untuk menerima keputusan ayah. Tapi percayalah! Semuanya sudah ayah pertimbangkan. Bahkan tiap malam ayah berdoa. Memohon petunjuk dari Allah. Dan inilah jalan yang Ia tunjukkan. Semuanya sudah ayah pikirkan, dan inilah keputusan yang terbaik. Maafkan ayah”., begitulah penjelasan ayah.
Ibu, meski hatinya telah terluka mencoba menerima semua keadaan yang menimpanya dengan ikhlas dan sabar. Bahkan tak terlontar kata-kata cerai dari mulut ibu. Ayah menangis. Sejak saat itu, sikap ayah berubah. Ayah berusaha menjadi ayah yang baik bagi kami, anak-anaknya. Ayah juga lebih hati-hati bersikap pada ibu. Ayah berusaha menjaga hati ibu. Meski ayah sekali-sekali pulang ke rumah -tiga hari dirumah ibu dan tiga hari dirumah istri muda- ayah selalu mencari cara untuk menyenangkan hati ibu. Setiap kali pulang kerumah, ayah pasti mengajak ibu jalan-jalan. Mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi kenangan masa muda ayah dan ibu dulu. Ibu senang. Meski hal itu tidak sepenuhnya mengobati luka hati ibu. Ketika sudah tiba saatnya ayah pulang ke rumah istri muda, ibu akan berdiam diri di kamar. Tidak sanggup ibu mengantarkan ayah ke depan pintu. Tengah malam, ketika aku masih berada di kampung untuk menghabiskan masa liburan, aku sering terjaga lantaran mendengar isak tangis dari kamar ibu.
Ibu berusaha merahasiakan perihal pernikahan kedua ayah. termasuk kepada saudara-saudara ibu. Ibu punya enam saudara laki-laki yang menjadi mamak[3] bagiku dan tiga saudara perempuan. Jadi, jumlah saudara ibu adalah sembilan orang. Keenam mamakku adalah tokoh adat yang disegani di kampungku. Di kampung, berita sekecil apapun akan cepat tersebar luas ke masyarakat. Begitu juga berita ayahku yang berbini dua. Berita itu akhirnya sampai juga ke telinga mamak-mamakku yang pemuka adat itu. ketika mengetahui prahara yang terjadi di rumah kami, saudara-saudara ibu sempat merasa tersinggung dan marah. Bahkan salah satu saudara laki-laki ibu, Mak Sil hampir saja memancung leher ayahku dengan parang. Aku mengetahui cerita ini dari Uni Na, sepupuku. Ketika itu Uni Na sedang berada di rumah Mak Sil. Semua saudara ibu berkumpul disana. Membicarakan permasalahan keluargaku. Mak Sil adalah saudara ibu yang paling tua. Sedangkan ibu adalah yang paling bungsu. Setiap ada permasalahan, rumah Mak Sil dijadikan tempat berkumpul. Di tengah-tengah perdebatan, tiba-iba saja Mak Sil megamuk. Mak Sil berdiri dan mengambil sebilah parang yang tergeletak di dekat lemari. Sambil mengacung-acungkan parang di tangannya, maksil berteriak, “ kalau tidak dia yang mati, aku yang mati!”
Orang-orang yang berada di rumah peninggalan kakek itu sempat panik melihat apa yang akan diperbuat Mak Sil dengan parangnya. Diantara mamak-mamakku yang lain, Mak Sil memang dikenal sebagai sosok mamak yang paling temperamental. Mak Sil cepat naik darah. Beliau bahkan tidak segan-segan menampar anak kemenakannya ketika dianggap melakukan kesalahan.
Amarah mak Sil teredam setelah uni Na mengingatkan keberadaan kami, anak-anak ayah. Terutama anak-anak perempuan ayah.
“ Tenanglah mak Sil, tenang!!! Redamlah dahulu amarah Mamak. Jangan biarkan setan menguasai hati kita. Apa Mak Sil tidak ingat, ayah Zal punya banyak anak perempuan. Kasihan anak-anak perempuan ayah Zal. Mereka belum ada yang menikah. Mereka tentu ingin punya wali nasbi ketika menikah nanti. Baiknya kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin ” Uni Na berusaha menenangkan.
Setelah agak lama terdiam, Mak Sil kembali duduk. Gerahamnya masih gemeletuk menahan amarah.
“ Ini aib bagi keluarga besar kita. Kita adalah orang-orang adat yang disegani dan dihormati di kampung ini. Jangan sampai orang kampung mencemooh kita lantaran suami dari anak batino[4] kita berbini dua” ungkap salah seorang mamak yang juga ikut dalam perdebatan malam itu.
Darah Mak Sil kembali menggelegak. Kembali diraihnya sebilah parang yang tadi ia jatuhkan ke lantai. Sambil mengacungkan mata parang, Mak Sil kembali berteriak, “ Seperti tidak bermamak saja ia. Ia anggap apa aku dalam adat. Dasar manusia yang kehilangan adat!”
***
Maut enggan memilih satu diantara dua pilihan yang diteriakkan Mak Sil malam itu. Maut memilih menjemput ibu lebih dulu. Ibu menghembuskan nafas terakhir akibat sakit tensi yang diderita ibu dua tahun belakangan. Sejak saat itu, aku jadi jarang pulang kampung. aku merasa kesepian. Kakak-kakak juga tak ada yang tinggal di kampung. Mereka ikut suami masing-masing. Begitu juga adikku yang laki-laki. Ia sudah bekerja di luar kota . Dan hampir tidak pernah pulang. Sedangan istri kedua ayah beserta anak perempuannya yang tak lain adalah saudara perempuan seayah denganku, aku belum bisa menerima keberadaan mereka sepenuhnya. Aku lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaanku di rantau. Pernah sekali aku pulang. Itupun karena aku rindu ke pusara ibu. Ayah sering mengirimi aku surat . Menyuruh aku pulang dan tinggal bersama ayah dan istri keduanya. Ayah sampaikan padaku melalui suratnya, bahwa ibu Aida, istri kedua ayah sangat ingin menjalin hubungan baik denganku. Sebagai seorang ibu dan anak tentunya. Sesekali, dalam surat yang ayah kirim terselip selembar foto yang kuyakini adalah foto adik perempuanku dari pernikahan kedua ayah. foto itu kugeletakkan saja diatas meja kerjaku. Tapi kadang-kadang aku senang juga memandanginya. Tentulah sekarang ia sudah berumur kira-kira lima tahun.
Suatu malam, sepulang dari tempat kerja, aku langsung tidur. aku bermimpi. Kulihat ayah duduk berdua di sebuah taman dengan seorang perempuan. Dia adalah ibuku. Sekilas kulihat wajah ayah dan ibu cerah dihiasi senyum. Dalam mimpi itu ayah berpesan padaku, “ Anakku, jangan pernah engkau mengeluh dengan apa yang telah digariskan Tuhan dalam hidupmu, meski itu pahit. Tuhan lebih tahu mana yang terbaik bagi kita. Yakinlah akan hal itu anakku. Yakinlah pada janji Tuhan.”
Aku terbangun. Lalu mataku sulit terpicingkan lagi. Segera aku bangkit menuju kamar mandi. Mengambil air sembahyang lalu kudirikan shalat tahajud. Dalam shalat aku teringat ibu. Aku juga rindu pada ayah. Aku berdoa untuk keduanya. Airmataku mengalir. Pada sujud terakhir, sajadahku basah.
***
Siang itu, setelah beberapa bulan tidak menerima kiriman surat , pak pos datang lagi. Mengantarkan surat untukku. “ tentu surat dari ayah…” bisikku.
Kubuka perlahan lipatannya dengan penuh debaran ganjil. Aku terperanjat. kali ini surat yang aku terima bukan dari ayah. surat itu dari ibu Aida. Istri kedua ayah. Ibu tiriku. Meski dalam bahasa berbeda, permintaannya tetap sama. Menyuruh aku pulang. Namun kali ini aku tidak bisa menolak. Dikabarkan bahwa ayahku jatuh sakit. Ayah sangat ingin bertemu denganku.
“ Pulanglah anakku, ayahmu membutuhkan kehadiranmu disisinya. Beliau sangat rindu bertemu denganmu. Pulanglah anakku. Hanya itu permintaan ayahmu”
Isi surat itu menjadi permintaan terakhir dari ayah. Dan permintaan itu tidak pernah terpenuhi. Izrail menemui ayah lebih dulu sebelum mobil yang aku tumpangi sampai ke kampung. Aku menangis di hadapan jasad ayah.
***
Sejak kepergian ayah, aku merasa tidak lagi punya kampung. Pulang berarti sepi. Menapaki puing kenang hatiku makin perih. Rantau telah menelanku. Masa kanak dan remaja di kampung halaman telah lama berlalu. Aku sudah menjalani duniaku sendiri. meski berada jauh dari kampung halaman, kenangan masa lalu selalu lekat dalam ingatan. Meski sulit untuk mengunjungi pusara ayah dan ibu, sejumput doa selalu kusertakan dalam sujud malamku. Aku telah belajar banyak hal dari peristiwa yang kualami. Ayah, ibu, juga ibu Aida, menjadi sumber inspirasi bagiku. Aku menyadari, tidak seharusnya membenci. Aku harus kuat menjalani hidupku yang sekarang. Aku yakin tuhan akan beri kekuatan. Dan aku sudah memilih untuk tetap bertahan menjadi istri kedua.
________________________________________
[1] Kue bolu Kukus[2] istri[3] Paman dari pihak ibu[4] Perempuan

Surat Untuk Abah


tifa dan kecapi abah masih mendayu
menembangkan lagu syahdu
tentang haru biru rasa rindu
meski abah tiada lagi bersama ku
lagu itu, masih bersemayam di benakku
satu semester berlalu
abah terbujur kaku
memenuhi seruan sang maha Satu
meninggalkan permainan yang menipu
melupakan segala pilu
abah…
pisau garpu yang kau titipkan pada ku
masih kusimpan dalam genggamanku
ku tak tahu untuk apa ia kulaku
abah…
kini tingallah pisau itu dan aku
abah…
aku hilang pandu
hilang rasa terbang tak menentu
cengkraman mimpi membuat ku kian tertipu
tertipu dalam jalanku sendiri
tak harapku kau kembali
namun, hadirlah wujudmu dalam mimpi
meski sekedar memberi salam

Dia

Aku ingin menjadi ‘seseorang’
Bukan hanya menjadi ‘aku’
Setidaknya dimata ‘dia’
Nanti..
Sebelum aku bisa membuat ‘dia’ tersenyum.
Aku tdk akan pernah tertawa!
Aku mau ‘dia’ bahagia.
Biar terbayar semua pengorbanannya!
Jadi aku bisa merasa pantas jika bersamanya!
Kalau aku bisa membuat ‘dia’ bahagia!
Aku akan tersenyum puas.
Berarti semua perjuangan ku tdk sia-sia!
Dan aku bisa memeluk erat ‘dia’ dan pengorbanan nya.
Dulu..
Aku selalu membuat ‘dia’ menangis.
Aku selalu membuat ‘dia’ kecewa!
Sekarang tdk akan!
Air mata ‘dia’ begitu berarti,
jika hanya menangis karena aku!
Aku belum merasa pantas untuknya!
Biar aku melakukan ‘sesuatu’ buat ‘dia’
Mempertahankan ‘dia’ dalam hidupku!
Karena aku bukan apa-apa jika tanpa ‘dia’!

Pesan Untuk Cinta

Cinta,daun daun mulai menguning dan dermaga senja mulai mendekat
lanjutkanlah melautmu,dapatkalah mimpimu tentang bintang bintang berkelip
Cinta,bawalah biduk pada tujuan dengan menghiasi wewangian pada langit
lemparkan kesah yang membebani,bawalah sauh kerelaan
kelak engkau akan menemukan arti sebuah pengembaraan
Cinta,hiruk pikuk debur ombak hanyalah sebuah kefanaan,jangan terlena berenang di dalamnya
Cinta,ini adalah negeri asing yang pada waktunya kita pasti pulang
tak hanya daun mengering,daun hijaupun bisa luruh
Cinta,dekaplah laut,bumi dan langit pada hiasan hiasan bekal untuk pulang

Salahkah Ku Merindu

Ya Rabb…
Begitu panjang jalan hidup yang kulalui…
Satu demi satu ujian ku hadapi…
Satu demi satu luka ku obati…
Satu demi satu cinta datang slih berganti..
Rindu menyayat hati..
Namun…
Ku ikhlas ya Rabb,,,
Hadapi semua ini demi ridha-Mu…
Demi mendapatkan cinta-Mu…
Kini…
Cinta itu kembali hadir di hati…
Salahkah ku merindu ya Rabb???
Salahkah ku mengharap setetes cinta dari-Mu??
Jika salah,,,
Tegurlah aku dengan kelembutan cinta-Mu…
Agar ku tak rapuh…
Dan kembali terjatuh…
Tapi…
Jika kerinduan ini adalah karunia dari-MU…
Hadiah dari tiap liku hidup yang tlah kujalani…
Maka…
Ijinkanku meraih cinta ini di jalan-Mu…
Jangan biarkan ia pergi…
Dan menyisakan tangis…
Dalam kesetiaan penantianku…
Yang mengharap cinta kekasih yang mencinta-Mu…
Di jalan-Mu…